“Awas Bahaya Laten Komunis !”. Kalimat ini berkumandang begitu lama dan merasuk ke dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia, setidak-tidaknya di zaman Orde Baru.
Sekarang, pada zaman reformasi ada kalimat “ Awas Bahaya Laten Korupsi !” yang dikeluarkan oleh KPK dalam upaya menyadarkan masyarakat tentang bahaya korupsi.
Kalau dulu ketika zaman Orde Baru, semua orang yang terindikasi terlibat G30S/PKI, maka orang yang bersangkutan dan keluarganya (istri/suami, anak, orang tua/mertua, saudara) dilakukan pencekalan. KTP yang bersangkutan diberi tanda “ET” (eks Tapol). Begitupun akses masuk ke dalam pemerintahan dikontrol secara ketat dengan adanya litsus. Sehingga mereka tidak bisa berkutik secara politik, ekonomi dan pemerintahan.
Saya pun mencoba menganalogikan, seandainya pada koruptor yang telah terbukti bersalah dan dihukum, maka demikian halnya dengan keluarganya (istri/suami, anak, orang tua/mertua, saudara) juga harus diberi perlakukan seperti zaman Orde Baru dengan menutup akses mereka secara politik, ekonomi dan pemerintahan. Karena ketika seseorang (bapak) melakukan korupsi, maka tentunya keluarganya juga turut menikmati hasil korupsinya. Uang hasil korupsi biasanya disimpan di bank dengan memakai nama keluarganya yang lain.
Ada seorang mantan pejabat (bupati) yang divonis hakim karena korupsi, tetapi keluarganya bisa menjadi anggota dewan dan terpilih jadi bupati. Ini kan tragis !
Kalau seseorang itu telah terbukti korupsi dengan putusan hakim, maka sejak saat itu, semua yang termasuk keluarga besarnya harus dicekal dengan diberi kode “EK” (eks koruptor). Semua identitas yang dimiliki oleh kelurga koruptor diberi kode “EK” seperti pada KTP, SIM dan sejenisnya.
Misalnya, si A terbukti korupsi, maka istri, anak, orang tua, mertua, saudara dan ipar si A akan terkena kode “EK”. Sehingga masing-masing keluarga juga akan ikut mengontrol setiap anggota keluarganya yang duduk dalam pemerintahan (eksekutif dan legislatif) agar tidak melakukan korupsi karena dampak tersebut.
Denga adanya litsus yang ketat oleh lembaga yang diberi kewewangan khusus, maka segala gerak-gerik keluarga koruptor akan terpantau. Yang jelas, mereka tidak bisa masuk kedalam pemerintahan. Sehingga ketika ada rekrutmen pegawai (CPNS), maka apabila ditemukan data bahwa orangtua/keluarga dari yang bersangkutan adalah koruptor, maka ia tidak bisa ikut mendaftar.
Mereka juga tidak boleh mencalonkan menjadi anggota dewan, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, presiden/wakil presiden. Tidak boleh mengerjakan proyek pembangunan dari pemerintah dan sebagainya.
Upaya ini dilakukan untuk memutus rantai korupsi yang sudah sangat menggurita. Selain upaya pemiskinan terhadap koruptor, dengan memberi label “EK” kepada keluarga koruptor maka seseorang yang berniat melakukan tindak korupsi akan berpikir-pikir ulang.
Sosialisasi kepada masyarakat bahwa seseorang telah terbukti korupsi dengan menampilkan pula anggota keluarganya melalui media massa akan membuat keluarga sang koruptor malu, khususnya anak-anaknya, yang tentu juga tidak mau kehilangan masa depannya akibat ulah orang tuanya/keluarganya, berakibat dia akan dicekal dikemudian hari.
Kalau di Cina, seseorang yang terbukti korupsi maka hukuman mati telah menanti.
Kasus Indonesia, dengan memberikan label “EK” kepada pelaku korupsi dan keluarganya, maka bisa menjadi efek jera seperti halnya zaman Orde Baru memotong ajaran komunis. Hukuman dengan pemberian label "EK", akan berlaku seumur hidup bagi pelaku korupsi dan keluarganya, meskipun sang koruptor telah bebas dari masa hukuman.
Kita berharap kepada KPK untuk mempertimbangkan usulan agar koruptor dan keluarganya diberi label “EK”.
DPR dituntut untuk membuat legislasi RUU tentang pencekalan terhadap koruptor dan keluarganya sebagai payung hukum untuk menyelamatkan bangsa ini dari bahaya laten korupsi.